Solution For The Best Future

Archive for 14 Juli 2011

Terimalah konsekuensi pilihanmu

Seorang wanita di San Diego merasa terganggu sekali oleh anjing tetangganya. Setiap malam ia merasa tidak bisa tidur karena lolongan anjing tetangganya itu. Akhirnya, dalam kemarahannya, ia mencari nomor telepon tetangganya dan setiap malam, dia menelepon tetangganya tersebut, hanya dengan sebuah pesan, “AUUUUUU….” suara melolong di telepon, lalu kemudian ditutup.

Tetangganya yang merasa terganggu oleh telepon itu, lalu melapor ke polisi. Ketika polisi melacak dan menemukan bahwa peneleponnya adalah tetangganya yang terganggu, si tetangga yang menelepon itu pun ditanya mengapa ia melakukannya.

Jawabannya sederhana, “Kalau saya tak bisa tidur, jangan harap ia juga bisa tidur!’. Dari kepolisian, ka sus ini pun diangkat ke meja hijau. Untungnya si hakim cukup bijak sehingga, keputusan pun diambil.

Si anjing tidak boleh lagi berada di sekitar kawasan itu. Namun, si tetangga yang mengganggu lew ttelepon pun dihukum kerja sosial beberapa bulan karena mengganggu privasi orang dengan pilihannya membalas dendam melalui telepon lolongan anjingnya’ itu.

Menurut ilmu Kecerdasan Emosional, setiap orang punya pilihan atas tindakan yang ia lakukan. Pada dasarnya, setiap tindakan punya konsekuensi. Si hakim menghukun si tetangga yang jahil dengan tepeon itu karena alasan yang sederhana.

Sebenarnya, dia sendiri bisa melakukan beberapa langkah pilihan: menelepon polisi, menegur tetangganya, menjadikan tetangganya sebagai teman lalu membujuknya pelan-pelan untuk menaruh anjingnya di tempat yang tak mengganggu, serta masih banyak langkah lainnya.

Sayangnya, semua pilihan yang lebih positif tidak ia dilakukan, justru yang ia pikirkan adalah balas dendam. Sebuah pilihan salah yang membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Untungnya, yang diterima hanya hukuman kerja sosial. Kisah ini mengawali soal pentingnya memikirkan suatu konsekuensi tindakan sebelum sebuah langkah diambil!

Kisah sebaliknya

Sebaliknya, ada pula kisah yang bertolak belakang dari kisah di atas. Suatu ketika, ada seorang peternak yang memiliki peternakan domba. Sayangnya, domba-domba ini selalu ditakut-takuti dan bahkan digigit hingga terluka oleh anjing tetangganya yang dilepaskan di halaman.

Berbulan-bulan, kejadian ini menjadi masalah bagi peternak yang memelihara domba-domba itu. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, ia pun pergi menemui seorang hakim dan meminta si hakim untuk menghukum tetangga serta anjingnya itu.

Si hakim yang bijak, menganggukangguk lantas memberikan jawaban kepada peternak yang marah itu, “Pak, saya bisa saja menjatuhkan hukuman yang berat kepada tetanggamu itu. Tetapi akibatnya, jadi bermusuhan. Saya menyarankan, ketika dombamu mulai mempunyai anak, berikanlah satu ekor kepadanya sebagai tanda persahabatan.”

Awalnya, si peternak itu tentu saja menolak karena sudah telanjur merasa jengkel dengan tetangganya tersebut, tetapi si hakim kelihatannya sangat percaya dengan sarannya. Akhirnya, si peternak itu pun diminta segera melakukan apa yang disarankannya.

Ketika domba kecil itu diberikan pada tetangganya apa yang terjadi adalah suatu akhir yang menyenangkan. Segera, persahabatan dan keakraban menjadi semakin baik di antara mereka.

Lantas, karena tetangganya pun melepaskan domba kecilnya di halaman, maka untuk menjaga domba itu dari gigitan anjingnya sendiri, si anjing itu pun segera dirantainya. Dengan demikianlah, anjing itu pun tidak bisa mengganggu domba si peternak itu. Masalah pun selesai.

Ada pilihan, ada konsekuensi

Kedua kisah di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita soal konsekuensi pilihan dari kata-kata, sikap serta tindakan kita. Salah satu prinsip penting yang bisa kita terapkan adalah realita bahwa kita sebenarnya punya banyak pilihan atas apa reaksi yang ingin kita berikan.

Kita ambil contoh. Tatkala hujan turun sebelum kita berangkat kerja, kita bisa bereaksi berbagai macam. Kita bisa mulai dengan mengumpat, menggerutu, tidur lagi, cari alas an untuk sakit, mencari payung atau bersyukur karena kita ‘nggak’ akan kepanasan dan tetap berangkat kerja dengan semangat.

Semuanya bergantung pada pilihan kita. Begitu pula, saat misalnya, kita tidak dipromosikan tetapi rekan kita yang kita anggap ‘saingan’ justru yang dapat promosi. Maka, reaksi kita pun bisa beragam.

Kita bisa mulai bereaksi dengan cara memaki-maki atasan, keluar dari perusahaan, diam seribu bahasa, diam-diam menyabotase, menyebarkan gosip, bersikap negatif di kantor, memusuhi rekan Anda tersebut, pergi ke dukun, berusaha mencari cara mencelakakan rekan Anda itu, menerima kenyataan itu apa adanya, berusaha lebih gitu untuk me ning katkan kemampuan Anda, tetap positif, dan masih banyak cara yang bisa Anda lakukan.

Intinya, menghadapi berbagai situasi yang Anda alami, Anda punya banyak pilihan. Tentunya, yang perlu diingat, dari setiap pilihan tersebut, ada konsekuensinya.

Kembali pada contoh di atas. Tatkala kita memilih untuk mengeluh dan menggerutu ketika terjadi hujan sebelum berangkat kerja, mungkin konsekuensi yang didapatkan adalah hari yang tak menyenangkan.

Kita jadi murung dan uringuringan. Begitu pula, tatkala kita memilih untuk mencelakakan rekan kita yang dipromosikan, kita mungkin mengambil risiko terkena balasannya.

Misalkan, baru-baru ini ada seorang pebisnis di Kalimantan yang memutuskan untuk membayar preman untuk memukuli saingan bisnisnya. Akibatnya, si pebisnis yang memanggil preman tersebut kini mendekam di penjara atas idenya memukuli saingan bisnisnya itu. Jadi ingatlah, setiap kali kita membuat pilihan dalam pilihan itupun terdapat konsekuensi-konsekuensi yang mesti kita tanggung pula.

Bagaimana membuat pilihak bijak?

Pertanyaan penting di sini, bagaimanakah kita bisa membuat pilihan-pilihan yang bijak dalam kehidupan kita?

Pertama-tama, adalah memikir kan dan merenungkan sejenak. Ambillah waktu untuk merefleksikan ketika suatu pilihan diambil, apa konsekuensinya yang mungkin timbul. Sayangnya banyak orang dengan cepat mengambil langkah dan tindakan, tetapi ketika suatu konsekuensi terjadi, barulah orang sadar.

Saya ingat dengan email dari rekan saya yang menuliskan moto hidupnya yang bagus, “Jangan belajar soal pentingnya keselamatan dari kecelakaan (don’t learn safety by accident)”.

Celakanya, justru itulah yang banyak terjadi dalam hidup kebanyakan orang. Ketika sakit, ketika mengalami malapetaka, ketika terjadi kecelakaan, barulah orang menjadi sadar dan insyaf akan perbuatannya yang salah.

Namun, hal itu sering kali sudah terlambat. Karena itulah, ambillah waktu untuk memikirkan apa yang mungkin terjadi dari sesuatu sebelum keputusan diambil.

Kedua, yakinlah Anda mampu dan berani menanggung risikonya, ketika konsekuensi terburuk dari pilihan Anda terjadi. Banyak orang membuat pilihan tetapi menolak menerimanya tatkala akibat buruk dari keputusannya terjadi. Ini artinya, mau enaknya saja.

Ketika suatu keputusan dan pi lihan dibuat, hal yang buruk bisa saja terjadi. Nah, siapkah Anda ketika hal buruk itu terjadi? Jika Anda belum siap, sebaiknya pikir lagi keputusan dan pilihan Anda.

Akhirnya, untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan, carilah referensi dan informasi. Saat ini ada banyak sumber informasi bahkan Anda pun bisa bertanya kepada orang yang pernah mengalaminya.

Semakin banyak informasi dan masukan, kadang memang bisa membuat bingung, tetapi makin banyak informasi, berarti pula Anda bisa punya banyak pertimbangan yang bisa membuat Anda membuat keputusan yang lebih baik.

Akhir kata, hanya sebuah saran sederhana: pikirkanlah sebelum terkena akibatnya, jangan terkena akibatnya baru berpikir.